Rabu, 09 Maret 2011

Kebaikan Pohon Apel (sebuah renungan)

Dikisahkan bahwa terdapat sebatang pohon apel yang besar dan kokoh. Di sekeliling pohon itu, seorang anak kecil selalu bermain setiap hari dengan girang dan ceria. Sesekali anak itu memanjati batang dan ranting-ranting pohohn itu sambi9l memetik buahnya dan menyantapnya dengan rakus dan lahap. Ketika ia lelah dan rasa kantuk pun tak dapat ditahannya, ia pun tidur pulas di bawah naungan dan daun-daun pohon yang rindang itu. Sungguh, anak itu sangat menyayangi pohon itu dan ia tergantung padanya. Demikian pula, pohon itu sangat menyayangi anak itu dan senang bermain bersamanya.

Waktu pun berlalu dan hari silih berganti. Anak itu kini menjadi remaja. Dia tidak lagi bermain-main di bawah pohon itu. Dia menghabiskan waktunya tidak bersama pohon itu.

Pada suatu hari, anak itu kembali datang ke pohon itu dengan sedih. Dengan rasa rindu pohon itu berkata, “Kemarilah, anakku saying. Mainlah bersamaku.”

Anak itu menjawab, “Aku sudah tidak kecil lagi, sehingga tidak ingin bermain di sekelilingmu. Aku membutuhkan mainan yang lain. Aku perlu uang untuk membelinya.”

Pohon itu berkata, ”Aku tidak punya uang. Tetapi kamu bisa mengambil semua buahku untuk kamu jual agar kamu bisa mendapatkan uang.”

Anak itu gembira sekali. Lalu dia memanjat pohon dan mengambil semua buah apel, kemudian ia turun dari pohon iut dengan penuh semangat dan senang.

Setelah itu, si anak tidak pernah muncul lagi. Pohon yang tidak kekar lagi itu sangat sedih karena kepergiannya.

Pada suatu hari, anak itu datang lagi, tetapi dia sudah menjadi seorang yang sudah besar dan dewasa. Pohon itu sangat bahagia dengan kedatangannya. Dia berharap anak itu mau mendekatinya lagi. Dia berkata, “Kemarilah, anakku. Mainlah bersamaku lagi.”

Anak yang sudah besar itu menjawab, “Aku sudah tidak kecil lagi untuk bermain bersamamu. Aku sudah besar. Aku mempunyai tanggung jawab atas keluargaku. Aku sekarang membutuhkan rumah untuk aku tempati bersama keluargaku. Apakah kamu bisa membantuku?”

Pohon apel berkata, “Sayang sekali, aku tidak punya rumah. Tetapi kamu bisa mengambil semua rantingku untuk kamu bangun sebuah rumah.”

Orang itu segera memotongi ranting-ranting pohon apel dan kemudian pergi meninggalkan pohon dengan bahagia. Pohon itu memberikan ranting-rantingnya dengan senang hati. Baginya yang terpenting adalah orang itu bisa bahagia dan senang. Tetapi, seperti sebelumnya, orang itu pergi dan tidak kembali lagi. Pohon itu kembali berserdih dan menangis.

Pada suatu hari yang terik, orang itu datang lagi. Pohon apel tentu senang sekali dengan kedatangannya. Ia mengajak lagi orang itu agar mendekatinya dan bercengkrama dengannya.

Orang itu pun menolak. Dia berkata, “Aku sudah sangat lelah. Aku sudah mulai tua. Aku sekarang ingin mengembara untuk mencari tempat yang tenang. Apakah kamu bisa memberiku kendaraan?”
Pohon apel dengan tulus berkata, “Ambil saja batangku ini untuk dibuat perahu, dan kamu bisa berlayar dengan perahu itu kemana pun yang kamu inginkan agar kamu bahagia.”

Orang itu lalu memotong batang pohon apel untuk dijadikan perahu kecil. Kemudian dia pergi berlayar utnuk waktu yang sangat lama.

Tetapi pada akhirnya, orang itu kembali lagi ke pohon apel setelah hilang sekian lama dan selama bertahun-tahun.

Pohon apel yang tidak memiliki segalanya lagi berkata, “Sayang sekali, hai sayangku. Aku tidak lagi mempunyai apa-apa yang dapat aku berikan kepadamu. Aku sudah tidak punya buah apel.”

Orang itu berkata, “Tidak apa-apa, gigiku sudah ompong. Aku tidak membutuhkan buah apel.”

“Aku tidak punya ranting yang rindang sehingga kamu dapat berteduh di bawahnya, dan aku juga tidak punya batang yang dapat kamu panjat.” kata buah apel melanjutkan.

Orang itu berkata, “Aku juga sekarang sudah tua. Aku tidak bisa mengerjakan apapun.”

Dengan suara parau dan menangis, pohon apel itu berkata, “Apa yang dapat aku berikan kepadamu, sayangku? Aku sekarang tinggal akar yang kering dan mati.”

Orang itu berkata, “Yang aku butuhkan sekarang adalah tempat untuk beristirahat. Aku benar-benar lelah sekian tahun menjalani kehidupan.”

Pohon apel itu tidak pernah bosan kembali menawarkan jasanya, “Akar-akarku yang kering dan tua ini sangatlah tepat untuk dijadikan tempat beristirahat. Kemarilah dan duduklah di atasku sambil beristirahat.”

Orang itu mendekati akar pohon dan duduk di atasnya. Pohon yang kini tinggal akar merasa bahagia bersama orang itu, sementara air mata mengiringi senyumnya.

***

Pohon apel itu adalah perumpamaan tentang orang kita semua.

Cerita di atas hanya sebuah ilustrasi yang menggambarkan betapa manusia ketika balita sampai umur tertentu begitu tergantung kepada orang tuanya, khususnya ibu, dalam seluruh kebutuhan hidupnya: tidur, makan, minum, mandi dan buang hajat. Baginya tidak ada waktu tanpa bergantung kepada orang tuanya.

Dengan berlalunya waktu dan sesuai dengan hukum alam, balita itu setahap demi setahap menunjukkan kemandiriannya sehingga ia benar-benar tidak laig menggantungkan kehidupannya kepada orang tuanya.

Pada saat manusia mencapai usia tertentu sehingga dia bisa hidup manidiri dan tidak bergantung kepada orang tuanya, seiring dengan pertambahan usianya yang sudah dewasa, dia pun menghadapi seabreg problema kehidupan, baik problema pribadi maupun problema keluarga. Dalam hal ini, ada dua sikap yang biasanya diambil seorang manusia terhadap orang tuanya, yaitu mengingat jasa dan kebaikan mereka atau melupakan mereka sama sekali.

Ilustrasi di atas menggambarkan manusia yang melupakan jasa dan kebaikan orang tuanya. Orang itu begitu saja melupakan orang tuanya ketika kehidupannya sudah mapan dan berkecukupan. Dia amat sibuk mengurusi urusan pribadinya: usaha dan karir, dan mengurusi keluarganya. Bayangan tentang orang tua sudah tidak lagi terbesit dalam benaknya, kecuali setahun sekali pada hari raya. Bahkan bagi sebagian orang, kehadiran orang tua di rumahnya adalah beban yang mengganggu kenyamanan kehidupan keluarga, apalagi jika orang tua itu rewel dan cerewet. Demi kenyamanan hidup berkeluarga, tidak sedikit anak yang menitipkan orang tuanya dip anti jompo sampai ajal menjemput mereka.

Namun, ketika manusia menghadapi kebuntuan dalam hidupnya dan kesusahan, dia kembali mengingat orang tuanya. Dia merindukan belaian kasih orang tuanya yang dulu pernah dirasakannya, dan meminta doa darinya agar diberi kelapangan dalam hidupnya. Jika orang tuanya telah meninggal, maka dia akan mengejarnya ke tempat peristirahatannya yang terakhir untuk sekedar berkeluh-kesah di atas pusaranya tentang beratnya beban kehidupan yang dihadapinya.

Orang tua tetap saja orang tua, betapapun dia kesal dan marah terhadap anaknya. Ketika anak datang bersimpuh di hadapannya, hatinya akan luluh, kemarahannya hilang seketika, dan kekesalan berubah menjadi keharuan.

Itulah hakikat orang tua yang memiliki cinta sejati terhadap anaknya. Cinta itu tidak akan pernah using dan aus, sebagaimana dikatakan dalam sebuah pepatah, “Kasih anak sepanjang gala, kasih ibu sepanjang masa.” James Joyce mengatakan, “Tak ada yang pasti di dunia ini, kecuali cinta dan kasih sayang ibu.”


Sumber : Meraih Sejuta Berkah, Kemuliaan Berbakti kepada Orang Tua (karya Husein Alkaff)

Related Posts by Categories

0 komentar :

Posting Komentar

Thanks for your commentar

Domain Murah

indonetmedia